Rabu, 24 Februari 2010

anilisa isu makroekonomi dalam film

Tidak ada Trickle Down Effect dalam Film Laskar Pelangi

Puji Lestari Anugrah

Film Laskar Pelangi adalah sebuah adaptasi dari novel fenomenal (jajaran novel best seller pada tahun 2006-2007) berjudul Laskar Pelangi yang merupakan novel pertama dari tetralogi karya Andrea Hirata.[1] Film ini diawali dengan adegan Ikal dewasa yang sedang menumpangi bus untuk kembali ke kampung halamannya di Desa Gantong, Pulau Belitung. Sambil menerawang, lamunan Ikal dewasa (1999) membimbing penonton memahami latar belakang sejarah sosial pulau dengan kandungan timah yang melimpah. Lamunan Ikal pada saat pertama kali masuk SD menggambarkan Belitung era 1974 pada saat PN (Perusahaan Negara) Timah masih aktif beroperasi. Bahkan bisa dikatakan sedang gencar-gencarnya beroperasi.

Jika ditinjau secara historis, pemerintah yang berkuasa pada tahun 1974 adalah rezim Orde Baru. Tahun 1974 adalah peralihan dari Repelita I (1 April 1969-31 Maret 1974) ke Repelita II. Dalam sektor pertambangan terutama timah, selama Repelita I telah dilakukan pekerjaan eksplorasi, produksi, dan modernisasi peralatan secara bertahap. Trend produksi timah memang meningkat selama Repelita I, namun perlu diperhatikan bahwa peningkatan produksi timah ini tidak dapat dilepaskan dari masalah ekspor. Kenaikan nilai ekspor, selain dari kuantum ekspor juga disebabkan karena perbaikan harga timah di dunia internasional. Pada tahun 1976 dan seterus­nya, produksi logam timah terus meningkat sebagai hasil ekspansi peleburan. Peningkatan produksi diarahkan untuk ekspor; konsumsi dalam negeri hanya sekitar 500 ton tiap tahun dan kelebihan produksi yang belum dapat diekspor adalah untuk stock (Bappenas : 1976).

TABEL PRODUKSI DAN EKSPOR TIMAH 1969/70 - 1973/74

Tahun


Jumlah Produksi

Jumlah Ekspor

Nilai ekspor

1969/70


17,9

16,4

54,540

1970/71


19,1

17,4

62,326

1971/72


20,5

19,1

63,086

1972/73


21,5

20,7

73,435

1973/74

*)

22,7

21,0

82,5

*) Angka perkiraan.

Sumber : www.bappenas.go.id

Pertumbuhan ekonomi pada periode Repelita di bawah rezim Orde Baru mencapai rata-rata 7 % per tahun, bahkan dalam Repelita II mencapai 9 % per tahun. Pertumbuhan ekonomi diharapkan akan memberikan suatu trickle down effect sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Namun, pertumbuhan ekonomi tanpa suatu perencanaan oleh suatu pemerintahan yang kuat akan mengakibatkan biaya sosial yang tinggi berupa dampak lingkungan, opportunity cost, distribusi pendapatan yang tidak merata, kemiskinan, pengangguran, dampak sosial budaya, stress kejahatan, pertumbuhan yang tidak berkelanjutan, serta kemungkinan ekonomi makro yang tidak stabil (Syafei, Buyung : 2009).

Distribusi pendapatan yang tidak merata adalah salah satu yang cukup menonjol digambarkan dalam film ini. Bahkan deskripsinya begitu detil dan mendalam hingga mewujud menjadi etnografi mengenai budaya ekonomi masyarakat Belitung, yang mengakibatkan munculnya kelas-kelas sosial. Secara tegas kedua kelas sosial tersebut dipisahkan oleh batas benteng PN Timah; di dalam benteng adalah kaum elite kaya sementara di luar benteng adalah kaum marginal dan miskin. Ikal memandang PN Timah sebagai tembok-tembok birokrasi yang menghalangi masyarakat Belitung untuk menikmati kekayaan alamnya sendiri. Masyarakat asli Belitung digambarkan hanya bisa menjadi buruh timah (pekerja berseragam biru seperti ayah Ikal), kuli kopra, atau nelayan miskin (seperti ayah Lintang). Kegiatan perekonomian mereka bertumpu pada sektor informal seperti pasar tradisional yang diperlihatkan ketika Laskar Pelangi menghabiskan masa liburan sekolah.

Selain itu, digambarkan pula suatu perbedaan yang mendasar antara kondisi ekonomi dalam dunia pendidikan di Belitung; yaitu antara SD Muhammadiyah dengan SD PN Timah. Terlihat bahwa secara ekonomi dan kesejahteraan, SD Muhammadiyah kalah jauh dibanding SD PN Timah; dari persoalan infrastruktur sampai sumber daya guru. SD Muhammadiyah adalah sekolah bagi anak-anak miskin; dengan tenaga pengajar yang sedikit (hanya Bu Muslimah, Pak Bakrie, dan Pak Harfan), bangunan sekolah yang hampir roboh dan atapnya selalu bocor ketika hujan. Anak-anak bersekolah tanpa seragam khusus dan hanya beralaskan sandal karet. Ketimpangan ini sangat terlihat ketika Laskar Pelangi harus mengikuti ulangan umum bersama di SD PN Timah. Mereka pun harus bergantian bersepeda ke pusat kota Manggar yang jauh hanya untuk membeli kapur tulis. Ketika liburan tiba, Laskar Pelangi ikut bekerja membantu orang tua sedangkan anak-anak SD PN Timah bermain sepatu roda.

Ketimpangan ini seharusnya tidak terjadi, apalagi dengan status Pulau Belitung sebagai pulau terkaya di Indonesia. Sebuah ironi ketika peribahasa tikus mati di lumbung padi benar-benar terjadi. Pada tahun 1999, ketika Ikal kembali ke Belitung, PN Timah sudah tidak beroperasi lagi. Hal ini terjadi karena harga timah dunia jatuh pada akhir tahun 1980-an. Namun, hal ini justru menjadi titik awal bagi kemerdekaan kaum marjinal asli Belitung yang selama ini terdesak secara ekonomi dan hak kekayaan alam. Sejak kuasa eksplorasi timah menjadi terbuka, maka mantan pekerja kelas rendahan yang menggeluti pertambangan timah tradisional justru menghasilkan produksi yang melebihi PN Timah (15.000 ton timah per tahun sedangkan produksi di PN Timah setahun yang hanya mencapai 6.000 ton) (Karsono : 2009). Mungkin inilah suatu potret dimana trickle down effect yang diharapkan dari pertumbuhan ekonomi malah tidak terjadi.

Referensi :

Bappenas. 1976. Bab VIII, Industri dan Pertambangan. www.bappenas.go.id (21 Februari 2010)

Karsono. 2009. Strukturalisme Levi-Strauss dan Laskar Pelangi: Ketika Andrea Hirata Trance. www.karsonojawul.blog.uns.ac.id (21 Februari 2010)

Kencus. 2009. Analisa Film Laskar Pelangi dengan Menggunakan Metode Analisis Naratif dalam Konteks Modern vs Tradisional. Kencus.com (21 Februari 2010)

Sjafei, Buyung Achmad. 2009. Opportunity Cost Pertumbuhan Ekonomi. www.deroe.wordpress.com (21 Februari 2010)



[1] Tetralogi ini terdiri dari : 1.Laskar Pelangi 2. Sang Pemimpi 3. Edensor 4. Maryamah Karpov

Kencus. 2009. Analisa Film Laskar Pelangi dengan Menggunakan Metode Analisis Naratif dalam Konteks Modern vs Tradisional. Kencus.com (21 Februari 2010)

Minggu, 21 Februari 2010

Koperasi Rochdale sebagai Roh Penggerak Gerakan Koperasi-Koperasi Selanjutnya

Koperasi Rochdale sebagai Roh Penggerak

Gerakan Koperasi-Koperasi Selanjutnya

Koperasi Rochdale dianggap sebagai tonggak koperasi modern.[1] Koperasi ini diangap sebagai cermin keberhasilan koperasi yang sampai saat ini prinsip-prinsipnya tetap menjadi acuan dan dipedomani oleh koperasi-koperasi yang berada di seluruh dunia.

Koperasi Rochdale adalah sebuah koperasi yang didirikan oleh 28 orang pekerja pabrik tekstil (yang kemudian disebut sebagai Rochdale Pioneers) pada tanggal 12 Desember 1884 di Rochdale, sebuah kota kecil di Lancashire, Inggris. Mereka mengumpulkan modal di antara mereka sendiri untuk membuka sebuah toko di Toad Lane pada tanggal 21 Desember 1844. Toko ini dibuka dengan persediaan "tepung, oatmeal, gula, mentega, dan lilin". [2] Para perintis inilah yang saling bekerja sama mengelola toko ini sampai akhirnya dapat berkembang dengan pesat. Mereka memegang prinsip-prinsip yang mereka tetapkan dengan teguh. Hal ini menjadi hal penting yang membedakan Rochdale dengan koperasi-koperasi sebelumnya yang mengalami kegagalan.

Dalam tulisannya “Pengertian Koperasi”, M.Soesilo mengutip prinsip-prinsip koperasi Rochdale yang dikemukakan oleh Prof. Coole, dalam buku "A Century Of Cooperative", yaitu ada 8 (deIapan) hal ( E.D.Damanik, 1980), masing-masing adalah:

a. Pengelolaan yang demokratis (Democratic Control);

Rochdale Society mengadopsi prinsip kontrol demokratis oleh anggotanya sebagai alat untuk pengambilan keputusan ( “Gagasan satu orang, satu suara'')

b. Keanggotaan yang terbuka dan sukarela (Open membership);

Oleh karena itu orang tidak dapat dipaksa untuk bergabung dengan koperasi dan mereka harus bebas untuk meninggalkan sebuah koperasi (tunduk pada aturan-aturan yang masuk akal melindungi kepentingan organisasi).

c. Pembatasan bunga atas modal (fix or limited interest on capital);

Ini berarti bahwa Koperasi harus membayar bunga tetap pada semua saham dan membatasi jumlah saham yang bisa dimiliki anggota. Banyak koperasi sebelumnya telah menolak untuk membayar bunga pada investasi anggota dan kurangnya modal menjadi penyebab kegagalan mereka.

d. Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota sesuai dengan transaksinya kepada koperasi

(Distribution of surplus in dividend to members in propotion to their purchase);

e. Transaksi usaha dilakukan secara tunai (Trading strictly on a cash basis);

Banyak masyarakat sebelumnya telah gagal karena mereka memperpanjang kredit kepada anggota koperasi yang miskin sehingga tidak dapat mengembalikan kredit tersebut dan merugikan koperasi.

f. Menjual barang-barang yang murni dan tidak dipalsukan (Selling only pure and unadultered goods); Hal ini dilakukan untuk menjaga reputasi koperasi di mata konsumen sehingga kepercayaan anggota koperasi benar-benar terjaga.

g. Menyelenggarakan pendidikan tentang prinsip-prinsip dan koperasi kepada anggota, pengurus, pengawas dan pegawai koperasi (Providing for the education of the members, the board and the staff); Pada tahub 1854, ada aturan bahwa 2,5% dari surplus koperasi akan didedikasikan untuk peningkatan intelektual “anggota''.[3]

h. Netral di bidang politik dan agama (Political and religious neutrality)

Prinsip-prinsip koperasi ini kemudian diadopsi oleh koperasi-koperasi masyarakat di seluruh Inggris dan bahkan seluruh dunia. Hal ini dapat dilihat dari daftar di buku tamu mereka yang sekarang disimpan di Museum Perintis Rochdale. Buku itu digunakan dari awal 1860. Nama-nama yang terdaftar sampai tahun 1872 diantaranya yaitu : Edward Vansittart Neale; pemimpin koperasi Kristen Sosialis, Sekretaris Jenderal Koperasi Union, Alexander Campbell dari Skotlandia, Tomizo Noguchi dari Jepang dan pengunjung dari Jerman, Spanyol dan Rusia.[4]

ICA (International Cooperative Alliance) yang didirikan di London pada tahun 1895 sebagai organisasi puncak perkoperasian pun membentuk komisi khusus guna mengkaji prinsip-prinsip koperasi yang telah dirintis oleh para pionir koperasi Rochdale yang diharapkan dapat diterapkan oleh koperasi-koperasi sedunia.. Mereka telah merevisi dan memperluas prinsip-prinsip Rochdale dari bentuk aslinya. [5]

Pada Kongres ICA tahun 1934 di London, komisi khusus yang dibentuk tahun 1934 tersebut menyimpulkan bahwa dari 8 asas Rochdale tersebut, 7 (tujuh) buah di antaranya dianggap sebagai asas pokok atau esensial, (E.D. Damanik, 1980), yaitu:

a. Keanggotaan bersifat sukarela;

b. Pengurusan dikelola secara demokratis;

c. Pembagian SHU sesuai partisipasi masing-masing anggota dalam usaha koperasi;

d. Bunga yang terbatas atas modal;

e. Netral dalam lapangan politik dan agama;

f. Tata niaga dijalankan secara tunai;

g. Menyelenggarakan pendidikan bagi anggota, pengurus, pengawas dan karyawan koperasi.

Asas ke delapan, yaitu dilarang menjual barang yang tidak murni atau dipalsukan, dihapus (Drs.Hendrojogi, Msc, 1997).

Ternyata dalam perkembangannya, tidak semua negara sepakat dengan rumusan yang dihasilkan oleh komisi khusus tahun 1934, terutama sekali terhadap 3 (tiga) butir rumusan yaitu tentang netral di bidang poitik dan agama, tata niaga dijalankan secara tunai dan mengadakan pendidikan bagi anggota, pengurus, pengawas dan staf. Banyak negara yang berbeda pandangan mengenai hal tersebut. Maka, pada Kongres ICA di Paris tahun 1937, ditetapkan bahwa dari 7 (tujuh) prinsip koperasi Rochdale yang diakui pada Kongres ICA di London tahun 1934, 4 (empat) yang pertama, telah ditetapkan sebagai prinsip-prinsip ICA sendiri, yaitu:

a. Keanggotaan bersifat sukarela;

b. Pengendalian secara demokratis;

c. Pembagian SHU sebanding dengan partisipasi anggota;

d. Pembatasan bunga atas modal.

Kemudian dalam Kongres ICA di Praha tahun 1948, ICA menetapkan dalam Anggaran Dasarnya, bahwa suatu Koperasi di suatu Negara dapat menjadi anggota lembaga tersebut bila Koperasi di negara tersebut mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut :

a. Keanggotaan bersifat sukarela;

b. Pengendalian secara demokratis;

c. Pembagian SHU sebanding dengan partisipasi anggota;

d. Pembatasan bunga atas modal.

Sementara tiga lainnya[6] menjadi hal yang tidak diwajibkan.

Keadaan menjadi berkembang lagi tatkala Kongres ICA tahun 1966, di Wina yang memutuskan 6 (enam) prinsip koperasi, yaitu:

a. Keanggotaan yang terbuka dan sukarela (Voluntary and open membership);

b. Pengelolaan yang demokratis (Democratic Administration);

c. Pembatasan bunga atas modal (Limited interest on capital);

d. Pembagian SHU kepada anggota sesuai partisipasi usahanya cara tunai (Distribution of surplus, in proportion to their purchase);

e. Penyelenggaraan pendidikan bagi anggota, pengurus, pengawas dan staf (Providing for members, board members and staf education);

f. Kerja sama antar koperasi (Cooperation among the cooperatives)

Terakhir adalah penyempumaan yang dilakukan melalui Kongres ICA tahun 1995[7] di Manchester, Inggris yang berhasil merumuskan pernyataan tentang jati diri koperasi (Identity Cooperative ICA Statement / ICIS), yang butir-butirnya adalah sebagai berikut:

a. Keanggotaan sukarela dan terbuka;

b. Pengendalian oleh anggota-anggota secara demokratis;

c. Partisipasi ekonomi anggota;

d. Otonomi dan kebebasan;

e. Pendidikan, pelatihan dan informasi;

f. Kerja sama di antara koperasi-koperasi;

g. Kepedulian terhadap komunitas.

. Bung Hatta –Bapak Koperasi Indonesia- pun dalam almanak koperasi 1957-1958 menterjemahkan prinsip-prinsip Rochdale Diatas menjadi dua bagian ;

a. Dasar-dasar Pokok :

1. Demokrasi kooperatif; pengelolaan dan tanggung jawab berada di tangan anggota

2. Dasar persamaan hak suara; one man one vote

3. Dasar keterbukaan; tiap orang boleh menjadi anggota

4. Demokrasi ekonomi; keuntungan dikembalikan kepada anggota sebanding dengan transaksi anggota dengan koperasinya

5. Sebagian dari keuntungan disisihkan guna pendidikan anggota

b. Dasar-dasar Moral :

1. Tidak boleh menjual barang palsu

2. Harga barang harus sama dengan harga pasar; tidak boleh lebih tinggi

3. Ukuran timbangan harus benar dan dijamin

4. Jual beli dilakukan dengan tunai. Kredit tidak diijinkan karena mendorong orang menjadi konsumtif dengan membeli melebihi kebutuhannya.[8]

Adapun menurut UU No. 25 tahun 1992, prinsip koperasi merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan berkoperasi. Dengan melaksanakan keseluruhan prinsip tersebut, koperasi mewujudkan dirinya sebagai badan usaha sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berwatak sosial. Koperasi melaksanakan prinsip koperasi sebagai berikut :

a. Keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela

b. Pengelolaan dilakukan secara demokratis

c. Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan jasa usaha masing-masing anggota

d. Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal

Dalam pengembangannya, Koperasi juga melaksanakan prinsip pendidikan perkoperasian dan kerjasama antar koperasi.

Jadi, terlihat bahwa prinsip-prinsip koperasi Rochdale telah menjadi roh bagi prinsip-prinsip koperasi di seluruh dunia (melalui ICA) termasuk di Indonesia, walaupun ada beberapa prinsip yang disesuaikan. ICA telah menghapus prinsip-prinsip kuno seperti layaknya uang tunai perdagangan dan ditambahkan secara eksplisit prinsip-prinsip seperti kerjasama antar koperasi dan kepedulian masyarakat untuk memenuhi keprihatinan organisasi-organisasi koperasi hari ini. Namun demikian, semangat prinsip-prinsip Rochdale asli membentuk fondasi yang gerakan koperasi telah berkembang dan tumbuh dengan pesat.



[1] Bahan kuliah 2 Koperasi FEUI. 2009. “Menjelang Lahirnya Koperasi Rochdale

[2] Gabriel Kirkpatrick, Rochdale - 21 Desember 1844

[3] Penjelasan-penjelasan dari tiap point bersumber dari tulisan Ronald Kumon yang berjudul “Principles of The Rochdale Cooperative” (02 May 1999 )

[4] Gabriel Kirkpatrick, Rochdale - 21 Desember 1844

[5] M.Soesilo “Pengertian Koperasi”,

[6] Tata niaga dilaksanakan secara tunai, penyelenggaraan pendidikan dan netral di bidang politik dan agama

[7] Selain itu, ditambahkan pula nilai-nilai koperasi : menolong diri sendiri, bertanggung jawab atas diri sendiri, demokratis, persamaan, keadilan, dan kesetiakawanan.

[8] Bahan kuliah 3 Koperasi FEUI. 2009. “Konsep dan Mazhab Koperasi”

“State Owned Enterprise Privatization; Kontroversi Privatisasi BUMN di Indonesia”

State Owned Enterprise Privatization;

Kontroversi Privatisasi BUMN di Indonesia

Puji Lestari Anugrah (0806464363)

Latar Belakang

Dalam suatu pemberitaan disebutkan bahwa pengamat ekonomi dari ECONIT Dr. Hendri Saparini mendesak pemerintah tidak melanjutkan privatisasi sejumlah Badan Usaha Milik Negara (ANTARA News, 24 Juni 2009). Desakan ini dilakukan menyusul rencana Kementerian BUMN yang akan melanjutkan program privatisasi terhadap 30 BUMN pada tahun 2009 yang sebagian besar merupakan pengalihan dari tahun 2008 (Kompas, 30 Desember 2008). Hingga lebih dari satu dekade pasca reformasi, privatisasi tetap menjadi isu yang kontroversial. Privatisasi BUMN telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat setuju dengan privatisasi sepanjang privatisasi dapat memberikan manfaat yang lebih baik, sementara sebagian masyarakat menolak privatisasi karena dianggap tidak nasionalis dan menghabiskan aset negara. [1]

Jika ditelusuri, pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Namun sebagaimana kita ketahui, semenjak dibentuk, BUMN secara umum belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Perolehan laba yang dihasilkan masih sangat rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2000, BUMN dengan total asset sebesar Rp. 861,52 trilyun hanya mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 13,34 Trilyun atau dengan tingkat Return on Assets (ROA) sebesar 1,55%. [2]

Situasi ini pun menjadi alasan dilakukannya proses “privatisasi” yang dalam kenyataannya menurut Setyanto P. Santoso (1998) memang mengalihkan kepemilikan negara (yang diwakili oleh pemerintah) kepada sektor swasta karena pemerintah telah menyadari bahwa beban dan lingkup tugas pemerintah sudah menjadi lebih besar sehingga akan lebih efektif dan efisien apabila tugas-tugas yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah (melalui BUMN) dialihkan kepada pihak swasta.

Sejarah Privatisasi BUMN

Proses privatisasi di dunia dimulai sejak tahun 1984 saat Pemerintah Inggris melakukan privatisasi SOE (State Owned Enterprise) atau BUMN dibidang telekomunikasi yang kemudian menjadi British Telecom dengan maksud untuk melindungi hak-hak konsumen yang selama ini hidup dibawah kekuasaan monopoli British Telecoms. Selanjutnya, privatisasi diikuti oleh Jepang yang berhasil melaksanakan privatisasi BUMN telekomunikasi NTTPC menjadi NTT dan satu perusahaan baru dibidang telekomunikasi domestik dengan pertimbangan ingin menumbuhkan industrinya yang selama ini hidup di alam monopsoni (pembeli tunggal yakni NTTPC). [3]

Adapun cikal bakal privatisasi di Indonesia yang tujuan awalnya yakni membangkitkan ekonomi negara ditengah minimnya modal dalam negeri adalah ketika diterbitnya UU No. 6 Tahun 1968 pada tanggal 3 Juli 1968. Jika dalam UU sebelumnya dinyatakan bahwa hanya negara yang berhak penuh mengelola sektor-sektor strategis, maka pada UU No. 6 Tahun 1968 sudah memperbolehkan modal asing masuk dalam sektor-sektor tersebut dengan membedakan label “modal dalam negeri” dan “modal asing” dari sisi kepemilikan. [4]

Setelah itu, sejak 1988, pemerintah memberlakukan upaya privatisasi secara bertahap dengan dikeluarkannya Inpres No. 5 (Oktober 1988), 3 Keputusan Menteri Keuangan (740/KMK.00/1989; 741/KMK.99/1989; 1232/KMK.013/1989), dan surat Edaran S-648/MK013/1990. Selama tahun 1989-1993 ternyata baru tujuh BUMN yang telah diprivatisasi. Jumlah ini 5 buah lebih sedikit dari pada BUMN baru yang didirikan dalam periode yang sama, dan 45 lebih sedikit dari pada yang pernah dinyatakan oleh Menteri Keuangan akan diprivatisasi setelah 1989. Jumlah saham yang dijual ke investor swasta juga masih relatif kecil. [5]

Meskipun cikal bakal privatisasi “umum” telah diundangkan pada tahun 1968, namun 1991 menjadi tahun dimana PT Semen Gresik menjadi BUMN pertama yang terkena program privatisasi. Selama periode 1991-1999, pemerintah memprivatisasi 9 BUMN (PT Perkebunan Nusantara III, PT Perkebunan Nusantara IV, PT Pupuk Kaltim, PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Aneka Tambang Tbk, PT Indo Farma, PT Kimia Farma, PT Sucofindo, PT Kerta Niaga, dan PT Angkasa Pura II) dengan total nilai privatisasi lebih dari USD 5 miliar. Bentuk privatisasi dilakukan melalui penawaran umum di pasar modal maupun melalui strategic partner (mengundang investor yang menjadi rekan strategis).[6] Periode pemerintahan selanjutnya pun masih melakukan proses privatisasi ini sampai sekarang.

BUMN : “State” Owned Enterprise

BUMN seperti yang disebutkan sebelumnya dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Jika terjadi suatu proses privatisasi, beberapa ahli mengungkapkan bahwa peran negara sebagai pelindung rakyat menjadi tidak terlaksana, seperti yang dituliskan Galbraith (1992): …The privatization of social services and public enterprises are aimed at altering property relations and hence the distribution of wealth and political power toward the greater empowerment of the rich, big business and the rentiers at the cost of the underclass… (Privatisasi sarana-sarana sosial dan perusahaan-perusahaan negara bertujuan merubah hubungan hubungan pemilikan dan selanjutnya pula distribusi kekayaan dan kekuasaan untuk lebih memperkuat posisi kelompok kaya, kalangan bisnis besar dan kaum pemupuk rente ekonomi atas korban masyarakat bawah).”[7]

Selain itu, menurut Faisal Basri (2009), privatisasi adalah salah satu jargon -selain liberalisasi dan deregulasi- yang hanya menekankan pada satu sisi pasar yaitu market creating dengan topangan financially driven capitalism. Sedangkan mekanisme pasar yang bisa berjalan dengan patut dan berkeadilan menuntut pula hadirnya tiga pilar lainnya, yakni market regulating, market stabilizing dan market legitimizing.

Pemerintah semestinya memanfaatkan sekaligus membesarkan BUMN strategis sebagai penopang ekonomi khususnya BUMN yang bergerak disektor hulu ekonomi. Seperti China yang memiliki 150 SOE (BUMN) strategis sebagai salah satu penggerak ekonominya. Jika kondisi BUMN tidak sehat dan merugi, maka menjadi tugas pemerintah melalui Meneg BUMN untuk merestrukturisasi BUMN tersebut hingga sehat dan menopang perekonomian hulu. Jika kebijakan privatisasi tetap diteruskan oleh pemerintah, persentase penguasaan asing terhadap aset-aset negara jelas akan semakin membengkak. Hal ini sangat merisaukan karena berdasarkan analisis Lembaga Keuangan Morgan Stanley, 10 tahun mendatang BUMN-lah yang akan memegang kendali perekonomian suatu negara. Industri strategis BUMN menjadi tulang punggung perekonomian negara untuk menyokong sektor hulu ekonomi negara (dimana swasta ikut serta) seperti tertuang dalam UUD 1945.[8]

“Privatisasi” BUMN

Beberapa alasan mengapa pemerintah Indonesia melakukan privatisasi terhadap BUMN menurut Masoffa (2008), yaitu (1) untuk menutupi defisit APBN, (2) tidak memiliki dana segar menyubsidi BUMN agar terus berkembang demi kepentingan masyarakat, (3) banyak BUMN yang tidak dapat menghasilkan keuntungan maksimal untuk dikontribusikan bagi kemakmuran rakyat melalui APBN, (4) maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menyebabkan BUMN bekerja tidak efisien.

Menurut Wigrantoro (2008), terdapat pertentangan terhadap campur tangan pemerintah dalam mencegah terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan faktor-faktor: ketidak-mampuan pemerintah dalam memformulasikan regulasi sehingga menyebabkan kegagalan pasar; penyelanggaraan fasilitas umum yang seharusnya bisa dilaksanakan oleh pihak swasta, tetapi justru dilaksanakan oleh pemerintah; dan terjadinya monopoli atau oligopoli yang timbul dari ketidak-sempurnaan regulasi pemerintah.

Melihat fakta yang terjadi bahwa BUMN pun tidak bisa efisien mewakili pemerintah (dengan maraknya praktik KKN), Privatisasi (ideal) dapat mendatangkan manfaat bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia apabila setelah privatisasi BUMN mampu bertahan hidup dan berkembang di masa depan, mampu menghasilkan keuntungan, dapat memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat yang ada disekitarnya. Dengan demikian, privatisasi BUMN diharapkan mampu meningkatkan kinerja BUMN. Peningkatan kinerja BUMN diharapkan bukan hanya terjadi pada jangka pendek, tetapi juga pada jangka panjang. Jadi, harus lebih komprehensif dengan memperhatikan perspektif pelanggan, proses bisnis internal, pertumbuhan, dan pembelajaran.

BUMN juga dituntut mampu untuk lebih transparan serta menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan manajemen BUMN. Selain itu, dalam menghadapi era globalisasi, BUMN harus meningkatkan kualitas produknya serta memperluas jaringan pasar, bukan hanya pada tingkat nasional tetapi juga di pasar global. Hal lain yang juga diharapkan dari privatisasi ini adalah terjadinya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Privatisasi diharapkan dapat memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi baru kepada BUMN, sehingga BUMN akan mampu memberikan sarana kepada para karyawan untuk terus melakukan pembelajaran dan terus mengembangkan diri, sehingga mampu menghasilkan produk yang berkualitas, dengan harga yang kompetitif.

Masuknya investor baru dari proses privatisasi juga diharapkan dapat menimbulkan suasana kerja baru yang menjadi pemicu adanya perubahan budaya kerja dan perubahan proses bisnis internal yang lebih efisien. Pada akhirnya, privatisasi BUMN diharapkan dapat menutup defisit APBN.[9]

Selain keenam syarat diatas, Setyanto P. Santoso (1998) berpendapat bahwa proses privatisasi yang ideal adalah apabila dimulai dari rencana usulan manajemen BUMN dan bukan berdasarkan instruksi dari pemerintah. Jadi sesungguhnya peran persiapan privatisasi sebagian besar berada dipundak Direksi BUMN bukan pada pemerintah. Ketidak inginan ataupun ketidak mampuan Direksi melakukan persiapan-persaiapan yang diperlukan dapat menggambarkan pula ketidak mampuannya didalam mengelola perusahaan terutama bila dikaitkan dengan era globalisasi yang ditandai oleh adanya persaingan tingkat tinggi (hyper-competition). Kinerja keberhasilan Direksi dan Dewan Komisaris seharusnya dinilai pula dari keberhasilan mereka menyiapkan BUMNnya untuk privatisasi. Dan ini seharusnya menjadi program utama Pemerintah dalam rangka mendayagunakan BUMN.

Pasar dan negara bukanlah pilihan[10]

Jika proses privatisasi dinilai sebagai proses tarik menarik kepemilikan antara pemerintah (negara) dengan swasta (pasar), maka “negara pada galibnya tidak dipertentangkan dengan pasar. Harusnya masing-masing punya fungsi yang saling melengkapi. Keduanya saling mengisi dan mengimbangi. Karena, ketidaksempurnaan inheren dengan pasar dan negara.” (Faisal Basri, State vs Market dan Social Policy, 21 Juni 2009)

Menurut pendapat Faisal Basri, (2009) Pemerintah bisa berperan aktif untuk mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih efektif mencapai tujuan yang dikehendaki yang telah ditetapkan melalui proses politik. Namun, pemerintah bisa berubah di tengah jalan, membelokkan arah pembangunan karena ada vested interest. Oleh karena itu, campur tangan negara yang efektif membutuhkan prasyarat, yaitu good governance yang juga merupakan syarat perlu (necesary condition) bagi terbentuknya democratic governance. Tidak ada yang menjamin bahwa negara selalu mengetengahkan kebijakan-kebijakan yang prorakyat atau kebijakan populis. Nilai-nilai demokrasi sosial dan ekonomi pasar sosial perlu terus dihembuskan dan diperjuangkan agar termanifestasikan ke dalam kebijakan-kebijakan sosial yang nyata.

Dalam akhir tulisan ini, penulis berada pada posisi dimana proses privatisasi BUMN bukanlah suatu yang mengerikan untuk dilakukan jika hal itu lebih memberikan manfaat bagi rakyat, namun menjadi sesuatu hal yang sangat tidak boleh dilakukan ketika BUMN sebagai aset negara kemudian diprivatisasi seenaknya tanpa memperhatikan kemanfaatan bagi masyarakat. Pemerintah sesuai dengan amanat UUD 1945 harus mampu menguasai sektor-sektor strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak. Adanya good governance dalam diri BUMN-BUMN kita mutlak diperlukan untuk bisa melayani kepentingan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Selain itu, mengenai kepemilikan asset, pemerintah harus membuat regulasi yang bisa membatasi dominasi kepemilikan modal asing dalam BUMN-BUMN yang go public. Adapun dalam hal proses privatisasi yang akan dilakukan, perlu benar-benar dipikirkan dampaknya terutama bagi kepentingan nasional, bukan orang perorang.

Daftar Pustaka

Cikal bakal privatisasi. www.nusantaraku.blogspot.com (25 Oktober 2009)

Basri, Faisal. Ekonomi Pasar Sosial? www.fasisal-basri.kompasiana.com

(9 Juni 2009)

Basri, Faisal. State vs Market dan Social Policy, www.fasisal-basri.kompasiana.com (21 Juni 2009)

Masoffa. Membahas Privatisasi BUMN. www.massofa.wordpress.com. (23 Februari 2008)

Purwoko. Model Privatisasi BUMN Yang Mendatangkan Manfaat Bagi Pemerintah Dan Masyarakat Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No. 1. Edisi Maret 2002.

Pemerintah Jangan lanjutkan Privatisasi BUMN. ANTARA News, 24 Juni 2009

Setyanto. Quo Vadis Privatisasi BUMN? (23 Februari 1998)

30 BUMN Masuk Daftar Privatisasi 2009. Kompas, 30 Desember 2008

Sri-Edi Swasono. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial. Jakarta : Prakarsa, 2005.



[1] Purwoko. Model Privatisasi BUMN Yang Mendatangkan Manfaat Bagi Pemerintah Dan Masyarakat Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No. 1. Edisi Maret 2002.

[2] Ibid.

[3] Setyanto. Quo Vadis Privatisasi BUMN?. 23 Februari 1998

[4] Cikal bakal privatisasi. www.nusantaraku.blogspot.com

[5] Masoffa. Membahas Privatisasi BUMN. www.massofa.wordpress.com. 23 Februari 2008

[6] Cikal bakal privatisasi. www.nusantaraku.blogspot.com

[7] Sri-Edi Swasono. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial. Jakarta : Prakarsa, 2005. hlm. 11-12,63.

[8] Cikal bakal privatisasi. www.nusantaraku.blogspot.com

[9] Purwoko. Model Privatisasi BUMN Yang Mendatangkan Manfaat Bagi Pemerintah Dan Masyarakat Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No. 1. Edisi Maret 2002.

[10] Faisal Basri. Ekonomi Pasar Sosial? 9 Juni 2009. www.fasisal-basri.kompasiana.com