Minggu, 21 Februari 2010

“State Owned Enterprise Privatization; Kontroversi Privatisasi BUMN di Indonesia”

State Owned Enterprise Privatization;

Kontroversi Privatisasi BUMN di Indonesia

Puji Lestari Anugrah (0806464363)

Latar Belakang

Dalam suatu pemberitaan disebutkan bahwa pengamat ekonomi dari ECONIT Dr. Hendri Saparini mendesak pemerintah tidak melanjutkan privatisasi sejumlah Badan Usaha Milik Negara (ANTARA News, 24 Juni 2009). Desakan ini dilakukan menyusul rencana Kementerian BUMN yang akan melanjutkan program privatisasi terhadap 30 BUMN pada tahun 2009 yang sebagian besar merupakan pengalihan dari tahun 2008 (Kompas, 30 Desember 2008). Hingga lebih dari satu dekade pasca reformasi, privatisasi tetap menjadi isu yang kontroversial. Privatisasi BUMN telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat setuju dengan privatisasi sepanjang privatisasi dapat memberikan manfaat yang lebih baik, sementara sebagian masyarakat menolak privatisasi karena dianggap tidak nasionalis dan menghabiskan aset negara. [1]

Jika ditelusuri, pemerintah Indonesia mendirikan BUMN dengan tujuan yang bersifat ekonomi dan tujuan yang bersifat sosial. Dalam tujuan yang bersifat ekonomi, BUMN dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Tujuan BUMN yang bersifat sosial antara lain dapat dicapai melalui penciptaan lapangan kerja serta upaya untuk membangkitkan perekonomian lokal. Namun sebagaimana kita ketahui, semenjak dibentuk, BUMN secara umum belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Perolehan laba yang dihasilkan masih sangat rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2000, BUMN dengan total asset sebesar Rp. 861,52 trilyun hanya mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 13,34 Trilyun atau dengan tingkat Return on Assets (ROA) sebesar 1,55%. [2]

Situasi ini pun menjadi alasan dilakukannya proses “privatisasi” yang dalam kenyataannya menurut Setyanto P. Santoso (1998) memang mengalihkan kepemilikan negara (yang diwakili oleh pemerintah) kepada sektor swasta karena pemerintah telah menyadari bahwa beban dan lingkup tugas pemerintah sudah menjadi lebih besar sehingga akan lebih efektif dan efisien apabila tugas-tugas yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah (melalui BUMN) dialihkan kepada pihak swasta.

Sejarah Privatisasi BUMN

Proses privatisasi di dunia dimulai sejak tahun 1984 saat Pemerintah Inggris melakukan privatisasi SOE (State Owned Enterprise) atau BUMN dibidang telekomunikasi yang kemudian menjadi British Telecom dengan maksud untuk melindungi hak-hak konsumen yang selama ini hidup dibawah kekuasaan monopoli British Telecoms. Selanjutnya, privatisasi diikuti oleh Jepang yang berhasil melaksanakan privatisasi BUMN telekomunikasi NTTPC menjadi NTT dan satu perusahaan baru dibidang telekomunikasi domestik dengan pertimbangan ingin menumbuhkan industrinya yang selama ini hidup di alam monopsoni (pembeli tunggal yakni NTTPC). [3]

Adapun cikal bakal privatisasi di Indonesia yang tujuan awalnya yakni membangkitkan ekonomi negara ditengah minimnya modal dalam negeri adalah ketika diterbitnya UU No. 6 Tahun 1968 pada tanggal 3 Juli 1968. Jika dalam UU sebelumnya dinyatakan bahwa hanya negara yang berhak penuh mengelola sektor-sektor strategis, maka pada UU No. 6 Tahun 1968 sudah memperbolehkan modal asing masuk dalam sektor-sektor tersebut dengan membedakan label “modal dalam negeri” dan “modal asing” dari sisi kepemilikan. [4]

Setelah itu, sejak 1988, pemerintah memberlakukan upaya privatisasi secara bertahap dengan dikeluarkannya Inpres No. 5 (Oktober 1988), 3 Keputusan Menteri Keuangan (740/KMK.00/1989; 741/KMK.99/1989; 1232/KMK.013/1989), dan surat Edaran S-648/MK013/1990. Selama tahun 1989-1993 ternyata baru tujuh BUMN yang telah diprivatisasi. Jumlah ini 5 buah lebih sedikit dari pada BUMN baru yang didirikan dalam periode yang sama, dan 45 lebih sedikit dari pada yang pernah dinyatakan oleh Menteri Keuangan akan diprivatisasi setelah 1989. Jumlah saham yang dijual ke investor swasta juga masih relatif kecil. [5]

Meskipun cikal bakal privatisasi “umum” telah diundangkan pada tahun 1968, namun 1991 menjadi tahun dimana PT Semen Gresik menjadi BUMN pertama yang terkena program privatisasi. Selama periode 1991-1999, pemerintah memprivatisasi 9 BUMN (PT Perkebunan Nusantara III, PT Perkebunan Nusantara IV, PT Pupuk Kaltim, PT Tambang Batubara Bukit Asam, PT Aneka Tambang Tbk, PT Indo Farma, PT Kimia Farma, PT Sucofindo, PT Kerta Niaga, dan PT Angkasa Pura II) dengan total nilai privatisasi lebih dari USD 5 miliar. Bentuk privatisasi dilakukan melalui penawaran umum di pasar modal maupun melalui strategic partner (mengundang investor yang menjadi rekan strategis).[6] Periode pemerintahan selanjutnya pun masih melakukan proses privatisasi ini sampai sekarang.

BUMN : “State” Owned Enterprise

BUMN seperti yang disebutkan sebelumnya dimaksudkan untuk mengelola sektor-sektor bisnis strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan listrik, minyak dan gas bumi, sebagaimana diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Jika terjadi suatu proses privatisasi, beberapa ahli mengungkapkan bahwa peran negara sebagai pelindung rakyat menjadi tidak terlaksana, seperti yang dituliskan Galbraith (1992): …The privatization of social services and public enterprises are aimed at altering property relations and hence the distribution of wealth and political power toward the greater empowerment of the rich, big business and the rentiers at the cost of the underclass… (Privatisasi sarana-sarana sosial dan perusahaan-perusahaan negara bertujuan merubah hubungan hubungan pemilikan dan selanjutnya pula distribusi kekayaan dan kekuasaan untuk lebih memperkuat posisi kelompok kaya, kalangan bisnis besar dan kaum pemupuk rente ekonomi atas korban masyarakat bawah).”[7]

Selain itu, menurut Faisal Basri (2009), privatisasi adalah salah satu jargon -selain liberalisasi dan deregulasi- yang hanya menekankan pada satu sisi pasar yaitu market creating dengan topangan financially driven capitalism. Sedangkan mekanisme pasar yang bisa berjalan dengan patut dan berkeadilan menuntut pula hadirnya tiga pilar lainnya, yakni market regulating, market stabilizing dan market legitimizing.

Pemerintah semestinya memanfaatkan sekaligus membesarkan BUMN strategis sebagai penopang ekonomi khususnya BUMN yang bergerak disektor hulu ekonomi. Seperti China yang memiliki 150 SOE (BUMN) strategis sebagai salah satu penggerak ekonominya. Jika kondisi BUMN tidak sehat dan merugi, maka menjadi tugas pemerintah melalui Meneg BUMN untuk merestrukturisasi BUMN tersebut hingga sehat dan menopang perekonomian hulu. Jika kebijakan privatisasi tetap diteruskan oleh pemerintah, persentase penguasaan asing terhadap aset-aset negara jelas akan semakin membengkak. Hal ini sangat merisaukan karena berdasarkan analisis Lembaga Keuangan Morgan Stanley, 10 tahun mendatang BUMN-lah yang akan memegang kendali perekonomian suatu negara. Industri strategis BUMN menjadi tulang punggung perekonomian negara untuk menyokong sektor hulu ekonomi negara (dimana swasta ikut serta) seperti tertuang dalam UUD 1945.[8]

“Privatisasi” BUMN

Beberapa alasan mengapa pemerintah Indonesia melakukan privatisasi terhadap BUMN menurut Masoffa (2008), yaitu (1) untuk menutupi defisit APBN, (2) tidak memiliki dana segar menyubsidi BUMN agar terus berkembang demi kepentingan masyarakat, (3) banyak BUMN yang tidak dapat menghasilkan keuntungan maksimal untuk dikontribusikan bagi kemakmuran rakyat melalui APBN, (4) maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menyebabkan BUMN bekerja tidak efisien.

Menurut Wigrantoro (2008), terdapat pertentangan terhadap campur tangan pemerintah dalam mencegah terjadinya kegagalan pasar yang disebabkan faktor-faktor: ketidak-mampuan pemerintah dalam memformulasikan regulasi sehingga menyebabkan kegagalan pasar; penyelanggaraan fasilitas umum yang seharusnya bisa dilaksanakan oleh pihak swasta, tetapi justru dilaksanakan oleh pemerintah; dan terjadinya monopoli atau oligopoli yang timbul dari ketidak-sempurnaan regulasi pemerintah.

Melihat fakta yang terjadi bahwa BUMN pun tidak bisa efisien mewakili pemerintah (dengan maraknya praktik KKN), Privatisasi (ideal) dapat mendatangkan manfaat bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia apabila setelah privatisasi BUMN mampu bertahan hidup dan berkembang di masa depan, mampu menghasilkan keuntungan, dapat memberdayakan usaha kecil, menengah dan koperasi serta masyarakat yang ada disekitarnya. Dengan demikian, privatisasi BUMN diharapkan mampu meningkatkan kinerja BUMN. Peningkatan kinerja BUMN diharapkan bukan hanya terjadi pada jangka pendek, tetapi juga pada jangka panjang. Jadi, harus lebih komprehensif dengan memperhatikan perspektif pelanggan, proses bisnis internal, pertumbuhan, dan pembelajaran.

BUMN juga dituntut mampu untuk lebih transparan serta menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam pengelolaan manajemen BUMN. Selain itu, dalam menghadapi era globalisasi, BUMN harus meningkatkan kualitas produknya serta memperluas jaringan pasar, bukan hanya pada tingkat nasional tetapi juga di pasar global. Hal lain yang juga diharapkan dari privatisasi ini adalah terjadinya transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Privatisasi diharapkan dapat memperkenalkan ilmu pengetahuan dan teknologi baru kepada BUMN, sehingga BUMN akan mampu memberikan sarana kepada para karyawan untuk terus melakukan pembelajaran dan terus mengembangkan diri, sehingga mampu menghasilkan produk yang berkualitas, dengan harga yang kompetitif.

Masuknya investor baru dari proses privatisasi juga diharapkan dapat menimbulkan suasana kerja baru yang menjadi pemicu adanya perubahan budaya kerja dan perubahan proses bisnis internal yang lebih efisien. Pada akhirnya, privatisasi BUMN diharapkan dapat menutup defisit APBN.[9]

Selain keenam syarat diatas, Setyanto P. Santoso (1998) berpendapat bahwa proses privatisasi yang ideal adalah apabila dimulai dari rencana usulan manajemen BUMN dan bukan berdasarkan instruksi dari pemerintah. Jadi sesungguhnya peran persiapan privatisasi sebagian besar berada dipundak Direksi BUMN bukan pada pemerintah. Ketidak inginan ataupun ketidak mampuan Direksi melakukan persiapan-persaiapan yang diperlukan dapat menggambarkan pula ketidak mampuannya didalam mengelola perusahaan terutama bila dikaitkan dengan era globalisasi yang ditandai oleh adanya persaingan tingkat tinggi (hyper-competition). Kinerja keberhasilan Direksi dan Dewan Komisaris seharusnya dinilai pula dari keberhasilan mereka menyiapkan BUMNnya untuk privatisasi. Dan ini seharusnya menjadi program utama Pemerintah dalam rangka mendayagunakan BUMN.

Pasar dan negara bukanlah pilihan[10]

Jika proses privatisasi dinilai sebagai proses tarik menarik kepemilikan antara pemerintah (negara) dengan swasta (pasar), maka “negara pada galibnya tidak dipertentangkan dengan pasar. Harusnya masing-masing punya fungsi yang saling melengkapi. Keduanya saling mengisi dan mengimbangi. Karena, ketidaksempurnaan inheren dengan pasar dan negara.” (Faisal Basri, State vs Market dan Social Policy, 21 Juni 2009)

Menurut pendapat Faisal Basri, (2009) Pemerintah bisa berperan aktif untuk mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih efektif mencapai tujuan yang dikehendaki yang telah ditetapkan melalui proses politik. Namun, pemerintah bisa berubah di tengah jalan, membelokkan arah pembangunan karena ada vested interest. Oleh karena itu, campur tangan negara yang efektif membutuhkan prasyarat, yaitu good governance yang juga merupakan syarat perlu (necesary condition) bagi terbentuknya democratic governance. Tidak ada yang menjamin bahwa negara selalu mengetengahkan kebijakan-kebijakan yang prorakyat atau kebijakan populis. Nilai-nilai demokrasi sosial dan ekonomi pasar sosial perlu terus dihembuskan dan diperjuangkan agar termanifestasikan ke dalam kebijakan-kebijakan sosial yang nyata.

Dalam akhir tulisan ini, penulis berada pada posisi dimana proses privatisasi BUMN bukanlah suatu yang mengerikan untuk dilakukan jika hal itu lebih memberikan manfaat bagi rakyat, namun menjadi sesuatu hal yang sangat tidak boleh dilakukan ketika BUMN sebagai aset negara kemudian diprivatisasi seenaknya tanpa memperhatikan kemanfaatan bagi masyarakat. Pemerintah sesuai dengan amanat UUD 1945 harus mampu menguasai sektor-sektor strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak. Adanya good governance dalam diri BUMN-BUMN kita mutlak diperlukan untuk bisa melayani kepentingan masyarakat dengan sebaik-baiknya. Selain itu, mengenai kepemilikan asset, pemerintah harus membuat regulasi yang bisa membatasi dominasi kepemilikan modal asing dalam BUMN-BUMN yang go public. Adapun dalam hal proses privatisasi yang akan dilakukan, perlu benar-benar dipikirkan dampaknya terutama bagi kepentingan nasional, bukan orang perorang.

Daftar Pustaka

Cikal bakal privatisasi. www.nusantaraku.blogspot.com (25 Oktober 2009)

Basri, Faisal. Ekonomi Pasar Sosial? www.fasisal-basri.kompasiana.com

(9 Juni 2009)

Basri, Faisal. State vs Market dan Social Policy, www.fasisal-basri.kompasiana.com (21 Juni 2009)

Masoffa. Membahas Privatisasi BUMN. www.massofa.wordpress.com. (23 Februari 2008)

Purwoko. Model Privatisasi BUMN Yang Mendatangkan Manfaat Bagi Pemerintah Dan Masyarakat Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No. 1. Edisi Maret 2002.

Pemerintah Jangan lanjutkan Privatisasi BUMN. ANTARA News, 24 Juni 2009

Setyanto. Quo Vadis Privatisasi BUMN? (23 Februari 1998)

30 BUMN Masuk Daftar Privatisasi 2009. Kompas, 30 Desember 2008

Sri-Edi Swasono. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial. Jakarta : Prakarsa, 2005.



[1] Purwoko. Model Privatisasi BUMN Yang Mendatangkan Manfaat Bagi Pemerintah Dan Masyarakat Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No. 1. Edisi Maret 2002.

[2] Ibid.

[3] Setyanto. Quo Vadis Privatisasi BUMN?. 23 Februari 1998

[4] Cikal bakal privatisasi. www.nusantaraku.blogspot.com

[5] Masoffa. Membahas Privatisasi BUMN. www.massofa.wordpress.com. 23 Februari 2008

[6] Cikal bakal privatisasi. www.nusantaraku.blogspot.com

[7] Sri-Edi Swasono. Indonesia dan Doktrin Kesejahteraan Sosial. Jakarta : Prakarsa, 2005. hlm. 11-12,63.

[8] Cikal bakal privatisasi. www.nusantaraku.blogspot.com

[9] Purwoko. Model Privatisasi BUMN Yang Mendatangkan Manfaat Bagi Pemerintah Dan Masyarakat Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 6, No. 1. Edisi Maret 2002.

[10] Faisal Basri. Ekonomi Pasar Sosial? 9 Juni 2009. www.fasisal-basri.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar