Rabu, 24 Februari 2010

anilisa isu makroekonomi dalam film

Tidak ada Trickle Down Effect dalam Film Laskar Pelangi

Puji Lestari Anugrah

Film Laskar Pelangi adalah sebuah adaptasi dari novel fenomenal (jajaran novel best seller pada tahun 2006-2007) berjudul Laskar Pelangi yang merupakan novel pertama dari tetralogi karya Andrea Hirata.[1] Film ini diawali dengan adegan Ikal dewasa yang sedang menumpangi bus untuk kembali ke kampung halamannya di Desa Gantong, Pulau Belitung. Sambil menerawang, lamunan Ikal dewasa (1999) membimbing penonton memahami latar belakang sejarah sosial pulau dengan kandungan timah yang melimpah. Lamunan Ikal pada saat pertama kali masuk SD menggambarkan Belitung era 1974 pada saat PN (Perusahaan Negara) Timah masih aktif beroperasi. Bahkan bisa dikatakan sedang gencar-gencarnya beroperasi.

Jika ditinjau secara historis, pemerintah yang berkuasa pada tahun 1974 adalah rezim Orde Baru. Tahun 1974 adalah peralihan dari Repelita I (1 April 1969-31 Maret 1974) ke Repelita II. Dalam sektor pertambangan terutama timah, selama Repelita I telah dilakukan pekerjaan eksplorasi, produksi, dan modernisasi peralatan secara bertahap. Trend produksi timah memang meningkat selama Repelita I, namun perlu diperhatikan bahwa peningkatan produksi timah ini tidak dapat dilepaskan dari masalah ekspor. Kenaikan nilai ekspor, selain dari kuantum ekspor juga disebabkan karena perbaikan harga timah di dunia internasional. Pada tahun 1976 dan seterus­nya, produksi logam timah terus meningkat sebagai hasil ekspansi peleburan. Peningkatan produksi diarahkan untuk ekspor; konsumsi dalam negeri hanya sekitar 500 ton tiap tahun dan kelebihan produksi yang belum dapat diekspor adalah untuk stock (Bappenas : 1976).

TABEL PRODUKSI DAN EKSPOR TIMAH 1969/70 - 1973/74

Tahun


Jumlah Produksi

Jumlah Ekspor

Nilai ekspor

1969/70


17,9

16,4

54,540

1970/71


19,1

17,4

62,326

1971/72


20,5

19,1

63,086

1972/73


21,5

20,7

73,435

1973/74

*)

22,7

21,0

82,5

*) Angka perkiraan.

Sumber : www.bappenas.go.id

Pertumbuhan ekonomi pada periode Repelita di bawah rezim Orde Baru mencapai rata-rata 7 % per tahun, bahkan dalam Repelita II mencapai 9 % per tahun. Pertumbuhan ekonomi diharapkan akan memberikan suatu trickle down effect sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Namun, pertumbuhan ekonomi tanpa suatu perencanaan oleh suatu pemerintahan yang kuat akan mengakibatkan biaya sosial yang tinggi berupa dampak lingkungan, opportunity cost, distribusi pendapatan yang tidak merata, kemiskinan, pengangguran, dampak sosial budaya, stress kejahatan, pertumbuhan yang tidak berkelanjutan, serta kemungkinan ekonomi makro yang tidak stabil (Syafei, Buyung : 2009).

Distribusi pendapatan yang tidak merata adalah salah satu yang cukup menonjol digambarkan dalam film ini. Bahkan deskripsinya begitu detil dan mendalam hingga mewujud menjadi etnografi mengenai budaya ekonomi masyarakat Belitung, yang mengakibatkan munculnya kelas-kelas sosial. Secara tegas kedua kelas sosial tersebut dipisahkan oleh batas benteng PN Timah; di dalam benteng adalah kaum elite kaya sementara di luar benteng adalah kaum marginal dan miskin. Ikal memandang PN Timah sebagai tembok-tembok birokrasi yang menghalangi masyarakat Belitung untuk menikmati kekayaan alamnya sendiri. Masyarakat asli Belitung digambarkan hanya bisa menjadi buruh timah (pekerja berseragam biru seperti ayah Ikal), kuli kopra, atau nelayan miskin (seperti ayah Lintang). Kegiatan perekonomian mereka bertumpu pada sektor informal seperti pasar tradisional yang diperlihatkan ketika Laskar Pelangi menghabiskan masa liburan sekolah.

Selain itu, digambarkan pula suatu perbedaan yang mendasar antara kondisi ekonomi dalam dunia pendidikan di Belitung; yaitu antara SD Muhammadiyah dengan SD PN Timah. Terlihat bahwa secara ekonomi dan kesejahteraan, SD Muhammadiyah kalah jauh dibanding SD PN Timah; dari persoalan infrastruktur sampai sumber daya guru. SD Muhammadiyah adalah sekolah bagi anak-anak miskin; dengan tenaga pengajar yang sedikit (hanya Bu Muslimah, Pak Bakrie, dan Pak Harfan), bangunan sekolah yang hampir roboh dan atapnya selalu bocor ketika hujan. Anak-anak bersekolah tanpa seragam khusus dan hanya beralaskan sandal karet. Ketimpangan ini sangat terlihat ketika Laskar Pelangi harus mengikuti ulangan umum bersama di SD PN Timah. Mereka pun harus bergantian bersepeda ke pusat kota Manggar yang jauh hanya untuk membeli kapur tulis. Ketika liburan tiba, Laskar Pelangi ikut bekerja membantu orang tua sedangkan anak-anak SD PN Timah bermain sepatu roda.

Ketimpangan ini seharusnya tidak terjadi, apalagi dengan status Pulau Belitung sebagai pulau terkaya di Indonesia. Sebuah ironi ketika peribahasa tikus mati di lumbung padi benar-benar terjadi. Pada tahun 1999, ketika Ikal kembali ke Belitung, PN Timah sudah tidak beroperasi lagi. Hal ini terjadi karena harga timah dunia jatuh pada akhir tahun 1980-an. Namun, hal ini justru menjadi titik awal bagi kemerdekaan kaum marjinal asli Belitung yang selama ini terdesak secara ekonomi dan hak kekayaan alam. Sejak kuasa eksplorasi timah menjadi terbuka, maka mantan pekerja kelas rendahan yang menggeluti pertambangan timah tradisional justru menghasilkan produksi yang melebihi PN Timah (15.000 ton timah per tahun sedangkan produksi di PN Timah setahun yang hanya mencapai 6.000 ton) (Karsono : 2009). Mungkin inilah suatu potret dimana trickle down effect yang diharapkan dari pertumbuhan ekonomi malah tidak terjadi.

Referensi :

Bappenas. 1976. Bab VIII, Industri dan Pertambangan. www.bappenas.go.id (21 Februari 2010)

Karsono. 2009. Strukturalisme Levi-Strauss dan Laskar Pelangi: Ketika Andrea Hirata Trance. www.karsonojawul.blog.uns.ac.id (21 Februari 2010)

Kencus. 2009. Analisa Film Laskar Pelangi dengan Menggunakan Metode Analisis Naratif dalam Konteks Modern vs Tradisional. Kencus.com (21 Februari 2010)

Sjafei, Buyung Achmad. 2009. Opportunity Cost Pertumbuhan Ekonomi. www.deroe.wordpress.com (21 Februari 2010)



[1] Tetralogi ini terdiri dari : 1.Laskar Pelangi 2. Sang Pemimpi 3. Edensor 4. Maryamah Karpov

Kencus. 2009. Analisa Film Laskar Pelangi dengan Menggunakan Metode Analisis Naratif dalam Konteks Modern vs Tradisional. Kencus.com (21 Februari 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar